Kamis, 07 Januari 2016

PRNYAKIT BUDAYA

BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Macam-macam Penyakit Budaya
1.      Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, “ The Nature of Prejudice “ pada tahun 1954. Istilah ini berasal dari praejudicum yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “ prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. “ Allport memang sangat menekankan antipati bukan sekadar antipati pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatifvberdasarkan keyakinan stereotpe kita tentang anggota dari kelompok tertentu.Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita disebut rasisme, sedangkan yang berbasis etnis disebut etnisisme.
Menurut john ( 1981 ) prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salahbdan tidak fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompoktertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorangvatas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menetang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berfikir logis dan obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan, dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia.
Prasangka didasarkan atas sebab – sebab seperti :
a.    Generalisasi yang keliru pada perasaan
b.    Stereotipe antaretnik
c.    Kesadaran “ in group “ dan “ out group “ yaitu kesadaran akan ras mereka sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan kami.

Faktor yang mempengaruhi prasangka sosial
1.        Pengaruh Kepribadian
Dalam perkembangan kepribadian seseorang akan terlihat pula pembentukan  prasangka  sosial. Kepribadian otoriter mengarahkan seseorang membentuk  suatu  konsep  prasangka  sosial, karena ada kecenderungan orang tersebut selalu merasa curiga, berfikir dogmatis dan berpola pada diri sendiri.
2.        Pendidikan dan Status
Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi status yang dimilikinya akan mempengaruhi cara berfiki rnya dan akan meredusir prasangka sosial.
3.        Pengaruh Pendidikan Anak oleh Orangtua
Dalam hal ini orangtua memiliki nilai-nilai tradisional yang dapat dikatakan berperan sebagai famili ideologi yang akan mempengaruhi prasangka sosial.
4.        Pengaruh Kelompok
Kelompok memiliki norma dan nilai tersendiri dan akan mempengaruhi pembentukan prasangka social pada kelompok tersebut.Oleh karenanya norma kelompok yang memiliki fungsi otonom dan akan banyak memberikan informasi secara realistis atau secara emosional yang mempengaruhi sistem sikap individu.
5.        Pengaruh Politik dan Ekonomi
Politik dan ekonomi sering mendominir pembentukan prasangka sosial. Pengaruh politik dan ekonomi telah banyak memicu terjadinya prasangka sosial terhadap kelompok lain misalnya kelompok minoritas.
6.        Pengaruh Komunikasi
Komunikasi juga memiliki   peranan penting dalam memberikan informasi yang baik dan komponen sikap akan banyak dipengaruhi oleh media massa seperti radio, televisi, yang kesemuanya hal ini akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial dalam diri seseorang.
7.        Pengaruh Hubungan Sosial
Hubungan sosial merupakan suatu media dalam mengurangi atau mempertinggi pembentukan prasangka sosial.
Misalnya, karena kita sering mendengar tentang sindikat pengemis, kita menjadi berprasangka buruk tentang semua pengemis. Maka ketika seorang pengemis cacat mendekati kita di perempatan lampu merah, kita bukan sekadar menolak memberi tapi juga jelas-jelas menunjukkan kesebalan kita dengan wajah bersungut-sungut. Padahal, selalu ada kemungkinan bahwa orang itu benar-benar bagian dari kaum dhuafa yang diwajibkan oleh Allah untuk kita menyantuninya. Keramahan kita hilang karena sebuah prasangka.
Untuk mengurangi prasangka langkah yang dapat diambil adalah dengan cara mengadakan  direct intergroup contact, seperti yang dikemukakan oleh Allport yang dikenal dengan contact theory. Kontak atau hubungan secara langsung  dengan berkelanjutan dapat mengurangi prasangka yang ada. Misalnya orang kulit putih rumahnya berdampingan dengan orang kulit hitam, sehingga dengan demikian langkah tersebut akan mengurangi prasangka yang ada. Disamping itu juga ada cara mengerjakan kerjasama atau cooperative interdependence. Diadakannya kerjasama antar kelompok yang berprasangka untuk mencapai tujuan bersama, mereka bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Dengan cara demikian mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, sehingga mereka tahu dengan tepat keadaan kelompok satu dengan yang lain. Sebenarnya prasangka timbul karena kurangnya informasi yang jelas pada masing-masing pihak. Dengan mengetahui hal sebenarnya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan prasangka yang ada.

2.        Stereotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnis atau ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non verbal. Strereotipe merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukkan perbedaan “ kami “ ( in group ) yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in group dan yang cenderung mengevaluasi orang lain yang dipandang inferior yaitu “mereka” ( out group ).
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa bersifat positif maupun negatif. Verdeber ( 1986 ) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilaikarakteristik, sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Allan G. Johnson ( 1986 ) menegaskan bahwa stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat – sifat tertentu yang cenderung negatif terhadap orang lain karena dipengaruhi pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompoklain. Ada kecenderungan untuk memberi “ label “ atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau memandang rendah kelompok lain.  Misalnya, seseorang dari suku tertentu diberi label, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang menyimpulkan ini karena dari pengalaman ia mengetahui bahwa mereka memang banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang ia dapatkan dari televisi yang memperlihatkan bahwa sebagian besar pengacara yang terkenal di Indonesia dan sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata bersal dari orang Batak. Kita menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas yang ada pada kita. Untuk mengatasi masalah ini adalah kita perlu memberi informasi yang benar dan lebih komprehensif tentang sesuatu hal sehingga stereotipe semacam ini tidak tumbuh.
Didalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan suku, ras, agama, dan antar golonga. Seringkali keberadaan individu dalam suatu kelopok telah dikategorisasikan dan digeneralisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown ( 1986 ) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe :
1.      Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender, etnis. Misalnya wanita Priangan itu suka bersolek.
2.      Bentuk atau sifat perilaku turun – temurun sehingga seolah – olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu keras.
3.      Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok, pada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Pemberian stereotipe merupakan gejala yang nampak alami adalam proses hubungan antar ras atau etnik sehingga tidak mungkin kita tidak melakukan stereotipe. Tajfel  ( 1981 ) membedakan bentuk dan jenis stereotipe itu dalam stereotipe individu dan stereotipe sosial. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan individu dengan menggeneralisasikan karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif ( berdasarkan pengalaman individu ). Sedangkan stereotipe sosial terjadi jika stereotipe ini telah menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kemompok sosial lain.
Stereotipe ini bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalaman dari pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok kita sendiri.  Hewstone dan Giles ( 1986 ) mengajukan empat kesimpulan tetang proses stereotipe :
1.      Proses stereotipe merupakan hasil dari kecnderungan mengantisipasi atau mengahrapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
2.      Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
3.      Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu ( in group ) dan kelompok lain ( out group ).
4.      Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
Misalnya, banyak orang yang mengangggap bahwa orang Padang itu pelit, padahal tidak semua orang Padang itu pelit. Ini merupakan salah satu contoh stereotip negatif yang diberikan orang-orang kepada orang Padang. Contoh lainnya, orang Jawa digambarkan sebagai orang yang halus, menerima apa adanya, dan pemaaf. Bahkan ketika diinjak pun, mereka akan bilang, “Maaf, kaki Anda menginjak kaki saya”. Lain lagi dengan orang Batak yang digambarkan sebagai pekerja keras, temperamen, dan lugas, mengatakan sesuatu sejelas mungkin. Orang Sumbawa seringkali diidentikkan dengan pola hidup yang konsumtif, sehingga ketika akan berkunjung ke suatu tempat, maka tempat yang pertama kali mereka rencanakan untuk kunjungi adalah pusat perbelanjaan. Cap yang dilekatkan pada etnis Bima lain lagi, mental perantau yang dimiliki etnis ini menyebabkan mereka tersebar di hampir semua daerah. Ini membuat mereka cenderung mencari kawan atau keluarga yang memiliki latar belakang etnis yang sama saat tiba di tempat yang baru. Kegemaran minum kopi sambil bersenda gurau menjadi milik suku Sasak. Saking gemarnya dengan minuman tersebut, saat Anda berkunjung ke kediaman atau rumah orang Sasak.

3.        Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham – paham yang pertama kali diperkenalkan oleh Wiliam Graham Summer ( 1906 ), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Summer berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik ( pertentangan ). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu adanya folkways ( adat kebiasaan ) yang bersumber pada pola – pola tertentu. Mereka mempunyai folkways yang cama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.
Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.

4.        Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa perancis dan italia” razza “. Pertama kali istilah itu diperkemnalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang Eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga nmasyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial yang berpandangan bahwa orang yang berkulit puth mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang sangat primitif. Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti bidang sosial, ekonomi, politik dimana orang kulit hitam merupakan subordinasi orang kulit putih. Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Buffon, antropolog Perancis untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19 para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok yaitu kaukasoid, negroid, dan mongoloid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada ras yang benar – benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang kedalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar. Karena tidak ada ras yang benar – benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non – biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menggabungkan ciri khas dengan kondisi kultural. Ada empat jenis ras : Eropah, Afrika, Mongol, dan Amerika yang berturut – turut mencerminkan siang hari ( terang ), malam hari ( gelap ), cerah pagi ( kuning ), dan sore ( senja ) yang berwarna merah.
Namun konsep ras yang kita kenal lebh mengarah pada konsep kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ ide sosial dari ras ” dan “ ide biologis dari ras “. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.

5.        Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap subordinasinya.
Perempuan penyapu jalan yang berlokasi di sekitar UNIMED. Pandangan  masyarakat tentang kedudukan perempuan nomor dua dan yang pantas melakukan kegiatan bersih – bersih seperti menyapu adalah pekerjaan perempuan. Pandangan yang seperti itu kami akhirnya melakukan observasi di sekitar jalan kampus unimed.Memang dari yang kami teliti pekerjaan tertentu (penyapu jalanan) dilakukan hanyalah oleh kaum perempuan.Jika dikaitkan dengan analisa subordinasi di atas, yang mengatakan laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan memang berkaitan.Dimana pekerjaan menyapu di beberapa tempat pada umumnya mayoritas penyapu jalan adalah dari kaum perempuan.Pekerjaan menyapu sudah membudaya ditujukan kepada pihak perempuan, kaum laki-laki tidak di percayai untuk hal pekerjaan tersebut.Kepercayaan maupun kenyakinan yang menjadi pandangan umum ini masih terus berlangsung, Bahwasanya perempuan lebih cocok atau lebih ideal untuk pekerjaan menyapu jalanan dibanding kaum laki-laki. Ini tentu sudah jelas mematok pekerjaan tertentu untuk satu jenis kelamin saja. Sudah terjadi subordinasi dikalangan ibu-ibu penyapu tersebut.Subordinasi ini sudah membudaya karena pandangan umum dikalangan masyarakat yang mengharuskan penyapu itu haruslah perempuan. Ibu-ibu yang kami teliti juga berpendapat yang sama dengan pandangan umum di dalam masyarakat tersebut. Karena sudah lamanya hal itu terbudaya akhirnya keadaan pasrah mereka menerima keadaan yang terus terjadi.Anggapan tadi menimbulkan simbol, bahwa pada umumnya perempuan lah yang idealnya menjadi pekerja domestik (penyapu jalan).Hal ini bisa terbukti karena yang mendominasi pekerjaan penyapu jalan maupun penyapu lainnya adalah perempuan. Namun sebenarnya laki-laki juga bisa melakukan pekerjaan tersebut, tidak seharusnya hanya perempuan yang menjadi penyapu dijalanan atau di tempat-tempat lain. Padahal seharusnya perempuan diletakkan pada posisi sebagai koordinator dalam urusan kebersihan jalan maupun tempat-tempat umum (publik).Karena perempuan lebih memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kebersihan dan juga keindahan.Jadi untuk urusan dilapangan lebih cocok diberikan kepada kaum laki-laki karena perkerjaan menyapu jalan menuntut untuk memiliki tenaga dan ketahanan fisik yang tinggi seperti yang dimiliki oleh laki-laki.Perempuan hanya mengawasi dan mengarahkan bagian-bagian mana yang perlu dibersihkan dan menciptakan keindahan di jalan maupun di ruangan publik bukan sebagai pekerja lapangan yang dapat menguras banyak tenaga.

6.        Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam ( scape goating ) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing hitamkan oarang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi negara itu. Ada satu pabrik di Aushwitz, Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1.5 juta orang Yahudi. Tua muda, kecil besar, laki – laki perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan di kirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa Aria ( Jerman ) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.

7.        Cultural Shock (keterkejutan budaya)
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon.
Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb. Contohnya ada seorang Australia yang mengunjungi sahabat penanya di Malaysia dan tinggal di rumah sahabatnya itu untuk sementara waktu, dia terkejut seputar kamar mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan sempit dengan makuk besar berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya berupa ruang kecil dimana dipojokannya ada lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut mengalami kesulitan karena dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan bathtub dan shower serta air hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Dia tidak terbiasa dengan pasangan homogen di Indonesia karena komunitas marginal tersebut lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak dianggap suatu perbuatan memalukan.

Reaksi pada culture shock
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain:
  1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
  2. rasa kehilangan arah
  3. rasa penolakan
  4. gangguan lambung dan sakit kepala
  5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
  6. rindu pada teman dan keluarga
  7. merasa kehilangan status dan pengaruh
  8. menarik diri
  9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka
Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)
Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru
Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.

2.2  Upaya yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai penyakit budaya
1.      Menjaga wilayah dan kekayaan tanah air Indonesia, artinya menjaga seluruh kekayaan  alam yang terkandung di dalamnya.
2.      Menciptakan ketahanan nasional, artinya setiap warga negara menjaga keutuhan, kedaulatan negara, dan mempererat persatuan bangsa.
3.      Menghormati perbedaan suku, budaya, agama, dan warna kulit. Perbedaan yang ada akan menjadi indah jika terjadi kerukunan, bahkan menjadi sebuah kebanggaan karena merupakan salah satu kekayaan bangsa.
4.      Mempertahankan kesamaan dan kebersamaan, yaitu kesamaan memiliki bangsa, bahasa persatuan, dan tanah air Indonesia, serta memiliki pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Sang Saka Merah putih. Kebersamaan dapat diwujudkan dalam bentuk mengamalkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.
5.      Memiliki semangat persatuan yang berwawasan nusantara, yaitu semangat mewujudkan persatuan dan kesatuan di segenap aspek kehidupan sosial, baik alamiah maupun aspek sosial yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. Wawasan nusantara meliputi kepentingan yang sama, tujuan yang sama, keadilan, solidaritas, kerjasama, dan kesetiakawanan terhadap ikrar bersama.
Memiliki wawasan nusantara berarti memiliki ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dan dipelihara oleh semua komponen masyarakat. Ketentuan-ketentuan itu, antara lain Pancasila sebagai landasan dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Ketentuan lainnya dapat berupa peraturan-peraturan yang berlaku di daerah yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
6.      Mentaati peraturan, agar kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan dengan tertib dan aman. Jika peraturan saling dilanggar, akan terjadi kekacauan yang dapat menimbulkan perpecahan.

Solusi lain yang dapat dipertimbangkan untuk memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman adalah sebagai berikut :
  1. Semangat religius;
  2. Semangat nasionalisme;
  3. Semangat pluralisme;
  4. Dialog antar umat beragama;
Membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antaragama, media massa, dan harmonisasi dunia

1 komentar: