BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Macam-macam
Penyakit Budaya
1.
Prasangka
Definisi
klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas
Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, “ The Nature of
Prejudice “ pada tahun 1954. Istilah ini berasal dari praejudicum yakni
pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman
yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “ prasangka adalah antipati
berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat
dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung ditujukan kepada kelompok
atau individu dari kelompok tertentu. “ Allport memang sangat menekankan
antipati bukan sekadar antipati pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap
positif atau negatifvberdasarkan keyakinan stereotpe kita tentang anggota dari
kelompok tertentu.Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis
pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan.
Prasangka yang berbasis ras kita disebut rasisme, sedangkan yang berbasis etnis
disebut etnisisme.
Menurut john ( 1981 ) prasangka adalah sikap
antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salahbdan tidak
fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang
yang menjadi anggota kelompoktertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang
diarahkan kepada seseorangvatas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau
hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap
curiga dan menetang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka,
emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa
memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila
prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berfikir logis dan
obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan, dan bukan tindakan.
Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke
tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka
prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan
status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar
manusia.
Prasangka didasarkan atas sebab – sebab seperti :
a. Generalisasi
yang keliru pada perasaan
b. Stereotipe
antaretnik
c. Kesadaran
“ in group “ dan “ out group “ yaitu kesadaran akan ras mereka sebagai kelompok
lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan kami.
Faktor
yang mempengaruhi prasangka sosial
1.
Pengaruh Kepribadian
Dalam perkembangan kepribadian
seseorang akan terlihat pula
pembentukan prasangka sosial. Kepribadian otoriter mengarahkan seseorang membentuk suatu
konsep
prasangka
sosial,
karena ada kecenderungan orang tersebut selalu
merasa curiga, berfikir dogmatis dan berpola pada diri sendiri.
2.
Pendidikan dan Status
Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi
status yang dimilikinya akan mempengaruhi cara berfiki
rnya
dan akan meredusir prasangka sosial.
3.
Pengaruh
Pendidikan Anak oleh
Orangtua
Dalam
hal ini orangtua memiliki
nilai-nilai tradisional
yang dapat dikatakan
berperan sebagai famili ideologi
yang
akan mempengaruhi prasangka sosial.
4.
Pengaruh Kelompok
Kelompok memiliki norma dan nilai
tersendiri dan akan mempengaruhi
pembentukan prasangka social pada
kelompok tersebut.Oleh karenanya
norma kelompok yang memiliki
fungsi otonom dan akan banyak memberikan informasi secara realistis atau secara emosional yang mempengaruhi sistem sikap individu.
5.
Pengaruh Politik dan Ekonomi
Politik dan ekonomi
sering mendominir pembentukan prasangka sosial. Pengaruh politik
dan ekonomi telah
banyak memicu terjadinya prasangka sosial terhadap kelompok lain misalnya
kelompok minoritas.
6.
Pengaruh Komunikasi
Komunikasi juga memiliki peranan
penting dalam memberikan informasi
yang
baik dan komponen sikap akan banyak dipengaruhi oleh media massa seperti radio, televisi, yang kesemuanya
hal ini akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial dalam diri seseorang.
7.
Pengaruh Hubungan Sosial
Hubungan sosial merupakan suatu media dalam mengurangi atau mempertinggi pembentukan
prasangka sosial.
Misalnya, karena kita sering mendengar tentang
sindikat pengemis, kita menjadi berprasangka buruk tentang semua pengemis. Maka
ketika seorang pengemis cacat mendekati kita di perempatan lampu merah, kita
bukan sekadar menolak memberi tapi juga jelas-jelas menunjukkan kesebalan kita
dengan wajah bersungut-sungut. Padahal, selalu ada kemungkinan bahwa orang itu
benar-benar bagian dari kaum dhuafa yang diwajibkan oleh Allah untuk kita
menyantuninya. Keramahan kita hilang karena sebuah prasangka.
Untuk mengurangi prasangka langkah yang dapat
diambil adalah dengan cara mengadakan
direct intergroup contact, seperti yang dikemukakan oleh Allport yang
dikenal dengan contact theory. Kontak atau hubungan secara langsung dengan berkelanjutan dapat mengurangi
prasangka yang ada. Misalnya orang kulit putih rumahnya berdampingan dengan
orang kulit hitam, sehingga dengan demikian langkah tersebut akan mengurangi
prasangka yang ada. Disamping itu juga ada cara mengerjakan kerjasama atau
cooperative interdependence. Diadakannya kerjasama antar kelompok yang
berprasangka untuk mencapai tujuan bersama, mereka bergantung satu sama lain
untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Dengan cara demikian mereka saling
berinteraksi satu dengan yang lain, sehingga mereka tahu dengan tepat keadaan
kelompok satu dengan yang lain. Sebenarnya prasangka timbul karena kurangnya
informasi yang jelas pada masing-masing pihak. Dengan mengetahui hal sebenarnya
akan mengurangi atau bahkan menghilangkan prasangka yang ada.
2.
Stereotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka
antar etnis atau ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan
karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin,
kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non verbal. Strereotipe
merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukkan perbedaan “ kami “
( in group ) yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in group dan
yang cenderung mengevaluasi orang lain yang dipandang inferior yaitu “mereka” (
out group ).
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap
seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia
berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa bersifat positif
maupun negatif. Verdeber ( 1986 ) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan
juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilaikarakteristik, sifat negatif
maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada
kelompok tertentu. Allan G. Johnson ( 1986 ) menegaskan bahwa stereotipe adalah
keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat – sifat tertentu yang
cenderung negatif terhadap orang lain karena dipengaruhi pengetahuan dan
pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif
atau bahkan merendahkan kelompoklain. Ada kecenderungan untuk memberi “ label “
atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu
diatasi adalah stereotipe yang negatif atau memandang rendah kelompok
lain. Misalnya, seseorang dari suku
tertentu diberi label, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang
menyimpulkan ini karena dari pengalaman ia mengetahui bahwa mereka memang
banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang ia dapatkan dari televisi yang
memperlihatkan bahwa sebagian besar pengacara yang terkenal di Indonesia dan
sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata bersal dari orang
Batak. Kita menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas yang ada
pada kita. Untuk mengatasi masalah ini adalah kita perlu memberi informasi yang
benar dan lebih komprehensif tentang sesuatu hal sehingga stereotipe semacam
ini tidak tumbuh.
Didalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah
air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan suku, ras, agama, dan antar golonga. Seringkali keberadaan
individu dalam suatu kelopok telah dikategorisasikan dan digeneralisasi. Miles
Hewstone dan Rupert Brown ( 1986 ) mengemukakan tiga aspek esensial dari
stereotipe :
1.
Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan
dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender, etnis. Misalnya wanita Priangan
itu suka bersolek.
2.
Bentuk atau sifat perilaku turun –
temurun sehingga seolah – olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya
orang Ambon itu keras.
3.
Penggeneralisasian karakteristik, ciri
khas, kebiasaan, perilaku kelompok, pada individu yang menjadi anggota kelompok
tersebut.
Pemberian stereotipe merupakan gejala yang nampak
alami adalam proses hubungan antar ras atau etnik sehingga tidak mungkin kita
tidak melakukan stereotipe. Tajfel (
1981 ) membedakan bentuk dan jenis stereotipe itu dalam stereotipe individu dan
stereotipe sosial. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan
individu dengan menggeneralisasikan karakteristik orang lain dengan ukuran yang
luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (
berdasarkan pengalaman individu ). Sedangkan stereotipe sosial terjadi jika
stereotipe ini telah menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan
meluas pada kemompok sosial lain.
Stereotipe
ini bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan
hasil pengalaman dari pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota
kelompok kita sendiri. Hewstone dan
Giles ( 1986 ) mengajukan empat kesimpulan tetang proses stereotipe :
1.
Proses stereotipe merupakan hasil dari
kecnderungan mengantisipasi atau mengahrapkan kualitas derajat hubungan
tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikologis yang
dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita
berkomunikasi dengan sesama.
2.
Sumber dan sasaran informasi
mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan.
Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
3.
Stereotipe menciptakan harapan pada
anggota kelompok tertentu ( in group ) dan kelompok lain ( out group ).
4.
Stereotipe menghambat pola perilaku
komunikasi kita dengan orang lain.
Misalnya, banyak orang yang mengangggap bahwa orang
Padang itu pelit, padahal tidak semua orang Padang itu pelit. Ini merupakan
salah satu contoh stereotip negatif yang diberikan orang-orang kepada orang
Padang. Contoh lainnya, orang Jawa digambarkan sebagai orang yang halus,
menerima apa adanya, dan pemaaf. Bahkan ketika diinjak pun, mereka akan bilang,
“Maaf, kaki Anda menginjak kaki saya”. Lain lagi dengan orang Batak yang
digambarkan sebagai pekerja keras, temperamen, dan lugas, mengatakan sesuatu
sejelas mungkin. Orang Sumbawa seringkali diidentikkan dengan pola hidup yang
konsumtif, sehingga ketika akan berkunjung ke suatu tempat, maka tempat yang
pertama kali mereka rencanakan untuk kunjungi adalah pusat perbelanjaan. Cap
yang dilekatkan pada etnis Bima lain lagi, mental perantau yang dimiliki etnis
ini menyebabkan mereka tersebar di hampir semua daerah. Ini membuat mereka
cenderung mencari kawan atau keluarga yang memiliki latar belakang etnis yang
sama saat tiba di tempat yang baru. Kegemaran minum kopi sambil bersenda gurau
menjadi milik suku Sasak. Saking gemarnya dengan minuman tersebut, saat Anda
berkunjung ke kediaman atau rumah orang Sasak.
3.
Etnosentrisme
Etnosentrisme
merupakan paham – paham yang pertama kali diperkenalkan oleh Wiliam Graham
Summer ( 1906 ), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Summer
berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualis yang cenderung
mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain,
maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik ( pertentangan ). Supaya
pertentangan itu dapat dicegah, perlu adanya folkways ( adat kebiasaan ) yang
bersumber pada pola – pola tertentu. Mereka mempunyai folkways yang cama
cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme
adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain
dengan standar budayanya sendiri.
Contoh konflik yang
sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus
terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan
menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah
yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya
berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah
saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung
menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun.
Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling
baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat.
Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan
tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.
4.
Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa perancis dan italia”
razza “. Pertama kali istilah itu diperkemnalkan Franqois Bernier, antropolog
Perancis untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan
kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang
lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang
Eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga nmasyarakat kelas atas
berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
Atau ada ideologi rasial yang berpandangan bahwa orang yang berkulit puth
mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang sangat primitif.
Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti
bidang sosial, ekonomi, politik dimana orang kulit hitam merupakan subordinasi
orang kulit putih. Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi
“penggolongan manusia” oleh Buffon, antropolog Perancis untuk menerangkan
penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19 para
ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok yaitu kaukasoid,
negroid, dan mongoloid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada ras yang
benar – benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan
pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang kedalam suatu kelompok
tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata,
rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili
faktor tampilan luar. Karena tidak ada ras yang benar – benar murni, maka
konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non – biologis.
Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menggabungkan ciri khas
dengan kondisi kultural. Ada empat jenis ras : Eropah, Afrika, Mongol, dan
Amerika yang berturut – turut mencerminkan siang hari ( terang ), malam hari (
gelap ), cerah pagi ( kuning ), dan sore ( senja ) yang berwarna merah.
Namun konsep ras yang kita kenal lebh mengarah pada konsep
kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan
antara “ ide sosial dari ras ” dan “ ide biologis dari ras “. Definisi sosial
berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5.
Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka
diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan
oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya
tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan
diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka disana
ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi maka
diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi
merupakan tindakan yang membedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan
terhadap subordinasinya.
Perempuan penyapu jalan yang berlokasi di sekitar UNIMED. Pandangan masyarakat tentang kedudukan
perempuan nomor dua dan yang pantas melakukan kegiatan bersih – bersih seperti
menyapu adalah pekerjaan perempuan. Pandangan yang seperti itu kami akhirnya melakukan observasi di sekitar jalan kampus
unimed.Memang dari yang kami teliti pekerjaan tertentu (penyapu jalanan)
dilakukan hanyalah oleh kaum perempuan.Jika dikaitkan dengan analisa
subordinasi di atas, yang mengatakan laki-laki selalu lebih tinggi dari
perempuan memang berkaitan.Dimana pekerjaan menyapu di beberapa tempat pada
umumnya mayoritas penyapu jalan adalah dari kaum perempuan.Pekerjaan menyapu
sudah membudaya ditujukan kepada pihak perempuan, kaum laki-laki tidak di
percayai untuk hal pekerjaan tersebut.Kepercayaan maupun kenyakinan yang
menjadi pandangan umum ini masih terus berlangsung, Bahwasanya perempuan lebih
cocok atau lebih ideal untuk pekerjaan menyapu jalanan dibanding kaum
laki-laki. Ini tentu sudah jelas mematok pekerjaan tertentu untuk satu jenis kelamin
saja. Sudah
terjadi subordinasi dikalangan ibu-ibu penyapu tersebut.Subordinasi ini sudah
membudaya karena pandangan umum dikalangan masyarakat yang mengharuskan penyapu
itu haruslah perempuan. Ibu-ibu yang kami teliti juga berpendapat yang sama dengan pandangan umum
di dalam masyarakat tersebut. Karena sudah lamanya hal itu terbudaya akhirnya
keadaan pasrah mereka menerima keadaan yang terus terjadi.Anggapan tadi
menimbulkan simbol, bahwa pada umumnya perempuan lah yang idealnya menjadi
pekerja domestik (penyapu jalan).Hal ini bisa terbukti karena yang mendominasi
pekerjaan penyapu jalan maupun penyapu lainnya adalah perempuan. Namun
sebenarnya laki-laki juga bisa melakukan pekerjaan tersebut, tidak seharusnya
hanya perempuan yang menjadi penyapu dijalanan atau di tempat-tempat lain.
Padahal seharusnya perempuan diletakkan pada
posisi sebagai koordinator dalam urusan kebersihan jalan maupun tempat-tempat
umum (publik).Karena perempuan lebih memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
kebersihan dan juga keindahan.Jadi untuk urusan dilapangan lebih cocok diberikan
kepada kaum laki-laki karena perkerjaan menyapu jalan menuntut untuk memiliki
tenaga dan ketahanan fisik yang tinggi seperti yang dimiliki oleh
laki-laki.Perempuan hanya mengawasi dan mengarahkan bagian-bagian mana yang
perlu dibersihkan dan menciptakan keindahan di jalan maupun di ruangan publik
bukan sebagai pekerja lapangan yang dapat menguras banyak tenaga.
6.
Kambing
Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam ( scape goating ) mengemukakan
kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka
perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi
ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing hitamkan oarang Yahudi sebagai penyebab
rusaknya sistem politik dan ekonomi negara itu. Ada satu pabrik di Aushwitz,
Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1.5 juta orang Yahudi. Tua muda,
kecil besar, laki – laki perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut
yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan di
kirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa
Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk
membudayakan umat manusia. Bangsa Aria ( Jerman ) ini merasa bahwa kekacauan
ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.
7.
Cultural
Shock (keterkejutan budaya)
Istilah culture shock pertama
kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock
didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan
semua lambang dan symbol yang familiar dalam hubungan social,
termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi
keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli
sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon.
Banyak definisi dari para ahli
tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami menyimpulkan, gegar budaya
adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya
dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan
nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar
budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi
berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari
orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya
berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru,
sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb. Contohnya ada seorang Australia yang
mengunjungi sahabat penanya di Malaysia dan tinggal di rumah sahabatnya itu
untuk sementara waktu, dia terkejut seputar kamar mandi dan toilet. Kmar mandi
yang berupa ruangan sempit dengan makuk besar berisi air dingin dan sebuah
gayung sementara toiletnya hanya berupa ruang kecil dimana dipojokannya ada
lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut mengalami kesulitan karena
dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan bathtub dan shower serta air
hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, merasa
kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang
ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Dia tidak terbiasa dengan pasangan
homogen di Indonesia karena komunitas marginal tersebut lebih tertutup dan
mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di Indonesia. Sementara di
Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah independen dan
bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak dianggap suatu
perbuatan memalukan.
Reaksi pada culture shock
Reaksi terhadap
culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan dapat
muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara
lain:
- antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
- rasa
kehilangan arah
- rasa
penolakan
- gangguan
lambung dan sakit kepala
- homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
- rindu
pada teman dan keluarga
- merasa
kehilangan status dan pengaruh
- menarik
diri
- menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka
Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)
Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U.
fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai
antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru
Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya
karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini
biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode
krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan
sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap
permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada
tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam
caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan
baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci
dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan,
dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai
dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk
dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali
dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu
gabungan dari 2 U curve.
2.2 Upaya yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai
penyakit budaya
1. Menjaga
wilayah dan kekayaan tanah air Indonesia, artinya menjaga seluruh
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
2. Menciptakan
ketahanan nasional, artinya setiap warga negara menjaga keutuhan, kedaulatan
negara, dan mempererat persatuan bangsa.
3. Menghormati
perbedaan suku, budaya, agama, dan warna kulit. Perbedaan yang ada akan menjadi
indah jika terjadi kerukunan, bahkan menjadi sebuah kebanggaan karena merupakan
salah satu kekayaan bangsa.
4. Mempertahankan
kesamaan dan kebersamaan, yaitu kesamaan memiliki bangsa, bahasa persatuan, dan
tanah air Indonesia, serta memiliki pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Sang Saka Merah putih. Kebersamaan dapat diwujudkan dalam bentuk mengamalkan
nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.
5. Memiliki
semangat persatuan yang berwawasan nusantara, yaitu semangat mewujudkan
persatuan dan kesatuan di segenap aspek kehidupan sosial, baik alamiah maupun
aspek sosial yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. Wawasan nusantara
meliputi kepentingan yang sama, tujuan yang sama, keadilan, solidaritas,
kerjasama, dan kesetiakawanan terhadap ikrar bersama.
Memiliki wawasan nusantara berarti memiliki ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dan dipelihara oleh semua komponen masyarakat. Ketentuan-ketentuan itu, antara lain Pancasila sebagai landasan dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Ketentuan lainnya dapat berupa peraturan-peraturan yang berlaku di daerah yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
Memiliki wawasan nusantara berarti memiliki ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dan dipelihara oleh semua komponen masyarakat. Ketentuan-ketentuan itu, antara lain Pancasila sebagai landasan dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Ketentuan lainnya dapat berupa peraturan-peraturan yang berlaku di daerah yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
6. Mentaati
peraturan, agar kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan dengan tertib dan aman.
Jika peraturan saling dilanggar, akan terjadi kekacauan yang dapat menimbulkan
perpecahan.
Solusi lain yang dapat dipertimbangkan untuk
memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman
adalah sebagai berikut :
- Semangat
religius;
- Semangat
nasionalisme;
- Semangat
pluralisme;
- Dialog
antar umat beragama;
Mantapp👍
BalasHapus